Rintik hujan seakan memberikan keindahannya senja ini. Aku tertarik untuk ikut berbagi cerita di teras depan rumah kakakku. Deru suara motor semakin jelas mendekat.
“Maaf bu, apa ini rumah pak Bambang. ?” Suara sesosok lelaki bertubuh tegap membuyarkan lamunanku.
“Iya, ada apa. ?” Kakakku menjawab dengan tenang.
“Pak Bambangnya ada. ?”
“Walah mas, pak Bambang sudah tidak disini. Sudah katut biduan penyanyi dangdut. Hhaha” Tawa kakakku meledak, seakan tanpa beban apapun saat melontarkan ucapannya tadi.
Dahiku mengernyit,
‘apa maksud kakakku ini. ? bukannya baru kemarin dia menangis karena ulah suaminya. Tapi kenapa sekarang sudah bisa tertawa tanpa beban. ?’
Kembali aku membuka telinga untuk mendengar komentar lelaki bertubuh tegap itu.
“Lho. ? kok bisa mbak. ? mbak ini istrinya kan. ?” lelaki itu bingung dan kaget dengan ucapan kakakku.
“Ya bisa aja mas, wong sudah sama-sama besar. Sama-sama kecil aja bisa kok. Hhaha. Iya saya istrinya. Kenapa mas. ?” tutur kakakku yang di barengi canda tawa.
Aku dan lelaki bertubuh tegap itu semakin bertanya-tanya, bahkan terkaget-kaget dengan tingkah laku kakakku. Aku sama sekali tidak menyangka, kenapa dia bisa berkata begitu. ? apa dia sudah gila karna suaminya. ? aku sendiri tak tahu.
“Ya saya kaget aja liat mbak bisa tertawa lepas, sedangkan suami mbak gak tau kemana” tanggapan lelaki itu.
“Terus kenapa mas. ? kalau suami saya begitu, apa harus saya menangis terus menerus. ? toh hidup saya dan anak-anak saya masih harus tetap berjalan. ? daripada menangis, lebih baik di buat have fun aja. Tuhan gak tidur kok mas, tuhan juga adil. Hhehe” Kata-kata bijak kakakku yang di sambutnya dengan senyum kekehannya.
“Iya sih mbak, yang sabar aja ya mbak. Ya sudah trimakasih mbak, saya pamit dulu” Lelaki itupun segera angkat kaki dari rumah kakakku dan menembus hujan yang tak kunjung reda.
Mata kakakku tak lepas dari sesosok lelaki tegap itu, bibirnya masih menyunggingkan senyum yang aku sendiri tak mengerti artinya.
***
“Bunda, nanti Rossa di suruh Bu.Guru bayar SPP. Nanti minta uangnya ya bun. ?” Rengek Rossa anak ke-2 kakakku yang membuat aku ingin menangis.
“Bundaa, Rossi juga di suruh bayar SPP sama Bu.Guru. Rossi nanti juga minta uang ya. ?” Kini Rossi, Adik Rossa yang meminta uang.
“Iya, nanti bunda sendiri aja yang bayar ke Bu.Guru kalian” Kata Kakakku yang semakin terlihat jelas gurat sedih di wajahnya.
Terukir jelas di wajahnya bahwa dia bingung mencari alasan. Dan seolah berkata
‘Seandainya ayahmu ada’
“Jangan bundaa, nanti aku dimarahin Bu.Guru lagi” Rossa yang sudah kelas 4 SD seakan tak mau kena marah lagi dengan gurunya.
“Iya sayang, nanti bilang saja ke Bu.Guru kalau nanti di bayar sama bunda”
“Beneran yaaa, bunda janji. ?”
“Beneran, Janjii. !” Aku melihat kakakku mengacungkan jari kelingkingnya
“SPP Rossi juga ya bunda” Rossi yang tak ingin kalah juga mengutarakan keinginannya.
“Iyaa.. Janji” Akhirnya, Rossa Rossi pun melingkarkan jari kelingking pada bundanya.
“Oke deh bunda, Rossa sama Rossi berangkat dulu ya. Dahh bunda” Seru Rossa sembari mencium pipi kanan-kiri bundanya. Begitu pula Rossi.
***
Kulihat kakakku terdiam melihat Anak-anaknya pergi sekolah, matanya menerawang jauh. Seraya mengadu kepada Tuhan. Tak lama dia mendecak dan bebicara sendiri.
“Tuhann.. Aku hanya manusia biasa. Yang bisa menangis karna ujianmu, yang bisa merana karna takdirmu. Aku percaya, engkau takkan memberi cobaan kepada umat-Mu melampaui batas kemampuannya. Aku sangat percaya itu Tuhan” Bulir air mata yang sedari tadi tersimpan rapi kini telah menganak sungai.
Sesaat aku terdiam dengan ulah kakakku. Didepan semua orang dia terlihat begitu tegar, tapi jauh di dalam hatinya dia seakan terkoyak, dan rapuh. Ya. ! sangat rapuh.
Aku kagum padanya, dia wanita yang sangat sabar. Yang tidak pernah kalah dengan emosinya. Lebih-lebih ketika dia tahu wanita yang berselingkuh dengan suaminya adalah sahabatnya sendiri. Sahabat yang semerta-merta dikasihaninya karna suaminya telah di panggil sang Kuasa.
***
“Sekarang silahkan pilih, kau maunya di madu atau bercerai. ?” Sayup-sayup aku mendengar teriakan itu dari dalam kamar kakakku.
“Tidak adakah pilihan lain Mas. ?” Suara memelas kakakku yang sangat begitu tenang.
“Tidak. ! kamu tahu sendiri kan. Dia sebentar lagi akan melahirkan anakku, kalau aku belum dapat izin darimu aku takkan bisa menikah sah dengan dia”
Saat kata itu terlontar, ingin sekali aku menghantam muka suami kakakku dengan apa saja yang ada di hadapanku.
“Aku takkan mau memilih. !” jawaban tegas kakakku membuatku lega.
“Lalu maumu apa. ?” bentak suami kakakku yang menurutku tingkahnya sudah seperti binatang.
“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu begitu, Istri mana yang mau di madu. ? apalagi di cerai secara sepihak. ?”
“Terus bagaimana. ?” Suara suami kakakku yang sudah gila wanita semakin meninggi.
“Ya aku tidak tahu, ini kan urusanmu dengan dia. Kenapa aku harus ikut-ikut. ? kamu menikah dengannya tanpa sepengetahuanku, kenapa sekarang aku harus tahu. ? selesaikan saja urusanmu dengannya, tanpa aku. !” Kakakku seakan-akan memuntahkan semua emosinya
Akhirnya suami kakakku membanting pintu dan pergi dari rumah. Aku mengintip kedalam kamar kakakku, kulihat dia duduk bersandar dengan berlinangan air mata. Dia kembali berbicara sendiri.
‘Rabb-ku.. Jika ini memang takdirku, beri daku jalan lurus dan kekuatan dalam menghadapi ini. Aku sudah mencoba mempertahankan, tapi jika harus terjadi. Kan kuserahkan semua kepadamu’ Rangkaian kata yang terucap itu memebuatku tertegun.
***
“Bunda, ada surat” Aku melihat Resha anak lelaki pertamanya yang sangat cuek dengan tingkah laku ayahnya.
“Surat apa Resh. ?”
“Baca aja sendiri, aku aja juga baru di kasih” Tanpa kata apa-apa lagi, dia kembali menekuni komputernya.
Aku ikut melihat apa isi surat itu, kulihat baris demi baris isi daripadanya. Ternyata surat panggilan untuk mengurus pernikahannya di pengadilan agama.
Kakakku pun bergegas berangkat.
***
Aku tak tahu apa yang kakakku pinta dalam sujudnya di kaki malam itu. Yang ku tahu, dia hanya diam dan menangis. Bisikan yang dia ucapkan untuk sang Khalik terlalu lembut. Aku hanya bisa masuk dalam pusaran kesedihannya. Dan sesekali aku mendengar dia mengeluh,
“Tuhan, Inikah ujianmu. ? terlalu sulit aku untuk menerima ini semua”
Deraian airmata kembali bercucuran di pipinya. Tanpa kusadari sugai kecil itu juga membasahi mataku.
***
“Bunda. ? Bundaaaaaaaa. ?” Resha berteriak histeris.
Aku menghambur keluar dari persaranganku.
Kulihat Resha bercucuran airmata. Dan betapa terkejutnya aku ketika kulihat kakakku tergeletak tak bernyawa.
Ohh tuhann, beginikah akhir takdirmu. ? Apakah ini yang dinamakan adil. ?
Aku takkan pernah tau rahasiamu, Tuhan ...**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar